Asas Hukum Pembuktian Afirmatif & Negatif: Polemik Ijazah Eks Presiden Joko Widodo

- Minggu, 20 April 2025 | 22:45 WIB
Asas Hukum Pembuktian Afirmatif & Negatif: Polemik Ijazah Eks Presiden Joko Widodo


Asas Hukum Pembuktian Afirmatif & Negatif: 'Polemik Ijazah Eks Presiden Joko Widodo'


Oleh: M. Yamin Nasution

Pemerhati Hukum


“Wie de leugen niet ziet, ziet de waarheid ook niet!”

“Dia yang tak melihat kebohongan, takkan mampu melihat kebenaran.” 


Pendahuluan

Isu dugaan ijazah palsu milik Mantan Presiden Joko Widodo bukanlah hal baru. 


Polemik ini pernah membawa Bambang Tri sebagai orang pertama yang mengungkapkan dugaan tersebut ke balik jeruji besi, disusul oleh Gus Nur.


Putusan Pengadilan Negeri Surakarta dalam perkara Nomor 318/Pid.Sus/2022/PN.SKT dan 319/Pid.Sus/2022/PN.SKT, serta Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 4850/K/Pid.Sus/2023, menjadi bukti nyata betapa cacatnya proses pembuktian yang terjadi kala itu.


Ironisnya, dalam dokumen putusan, Jaksa Penuntut Umum tidak pernah menghadirkan ijazah asli, hanya salinan fotokopi yang dilegalisir. 


Padahal, Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk memutus seseorang bersalah, minimal harus ada dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim.


Tafsir terhadap Pasal 183 seharusnya bersifat implementatif dan tidak bisa ditawar. 


Salinan ijazah yang dilegalisir tidak memenuhi kualifikasi sebagai alat bukti yang sah menurut hukum acara pidana.


Kini, polemik tersebut kembali mencuat. Bila sebelumnya yang dipersoalkan adalah ijazah tingkat SMP dan SMA, kini melalui pernyataan Rismon Sianipar—seorang saksi ahli IT forensik dalam berbagai perkara besar—dituduhkan bahwa ijazah strata satu (S1) Presiden Jokowi juga tidak valid.


Beberapa dasar yang dijadikan rujukan oleh Rismon antara lain:


- Jenis huruf: Skripsi yang diketik dengan font Times New Roman disebut mustahil dibuat pada tahun 1985 karena jenis huruf ini belum digunakan secara umum saat itu.


- Kronologi waktu: Ijazah diketahui lebih dahulu terbit dibandingkan skripsi yang menjadi syarat kelulusannya.


- Nama dosen pembimbing: Dalam rekaman video reuni, Jokowi menyebut pembimbing skripsinya bernama Kasmujo, padahal pada ijazah tercantum nama Prof. Dr. Achmad Sumitro.


- Kepemimpinan fakultas: Saat itu Prof. Sumitro menjabat sebagai Dekan Fakultas Kehutanan, namun dalam ijazah nama dekan tercantum orang lain.


Temuan-temuan tersebut (dan masih banyak lainnya) telah menimbulkan polemik besar. Masyarakat dan sebagian kalangan hukum terbelah pendapat. 


Pihak pro mantan presiden menegaskan asas “siapa yang menuduh, dia yang harus membuktikan”. Namun, frasa tersebut seringkali disederhanakan secara keliru oleh publik.


Tulisan ini berupaya menjernihkan pemahaman mengenai asas-asas hukum pembuktian, khususnya dalam konteks pembuktian afirmatif dan negatif.


Uraian Materi


1. Penutur vs Penuduh: Sebuah Distingsi Penting

Indonesia mengenal tiga asas utama dalam hukum pembuktian:

Actore incumbit probatio

Actore incumbit onus probandi

Actore non probante reus absolvitur


Umumnya, Actore incumbit probatio digunakan dalam perkara perdata, sementara dua asas lainnya digunakan dalam perkara pidana.


a. Penutur (Pembuktian Afirmatif)

Secara prinsip, siapapun yang mengajukan dalil (penutur) memikul beban pembuktian atas dalil tersebut. 


Inilah makna dari adagium “necessitas probandi incumbit ei qui agit”—kewajiban pembuktian berada di pihak yang bertindak atau menggugat.


Dalam konteks ini, penutur adalah individu yang merasa memiliki alasan dan dasar ilmiah atau faktual untuk menyatakan bahwa sebuah klaim (misalnya keaslian ijazah) tidak valid. 


Maka, penutur tidak semestinya disamakan dengan “penuduh”, karena ia menyampaikan dugaan berdasarkan argumentasi, bukan asumsi kosong.


Sebaliknya, pemilik ijazah seharusnya secara natural memiliki posisi yang lebih kuat untuk membuktikan validitas dokumennya, sebagaimana kaidah “in pari causa possessor potior haberi debet”—dalam situasi setara, pemilik sah lebih diunggulkan.


Frasa “probatio” dalam Actore incumbit probatio memiliki akar dari dua kata Latin: proba (bukti) dan probus (kejujuran). 


Artinya, setiap bentuk pembuktian harus dilandasi oleh niat jujur dan integritas, baik dari pihak penggugat, tergugat, jaksa, maupun hakim. Hal ini ditekankan oleh L. Frederico Weis dalam adagium “Afirmanti incumbit probatio” (1674).


b. Tuduhan dan Penyimpangan Terminologi

“Tuduhan” dalam KBBI bermakna menyatakan kesalahan tanpa dasar yang sah. Dalam hukum pidana, tuduhan demikian dikategorikan sebagai pencemaran nama baik atau fitnah (smaad dan laster).


Penyelewengan istilah “penutur” menjadi “penuduh” telah menyebabkan kekeliruan fatal dalam berbagai kasus hukum, termasuk kasus Bambang Tri dan Gus Nur. 


Padahal, kedua individu tersebut menyampaikan dalil berbasis analisis dan argumen, bukan semata-mata menyerang pribadi.


Namun sayangnya, jaksa dalam kasus tersebut hanya mampu menghadirkan fotokopi ijazah yang dilegalisir—bukan ijazah asli. 


Ini tidak sejalan dengan prinsip audi et alteram partem dan jelas melanggar standar alat bukti autentik.


c. Pembuktian Negatif dan Asas Pembalikan Beban

Dalam praktik hukum di Indonesia, asas pembuktian negatif masih sangat minim pemahaman maupun penerapannya. 


Namun secara logika, asas ini sangat penting untuk menjaga keadilan dan keseimbangan dalam peradilan pidana.


Asas “De actore non probante, in actore negatoria” menyatakan bahwa jika penggugat atau penuntut tidak mampu membuktikan dalilnya secara afirmatif, maka tergugat atau terdakwa memiliki hak dan bahkan kewajiban moral untuk membuktikan sebaliknya—yaitu bahwa dirinya tidak bersalah.


Meskipun Pasal 66 KUHAP menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa tidak berkewajiban membuktikan dirinya tidak bersalah, secara psikologis dan praktis terdakwa tetap berada dalam posisi untuk membantah segala tuduhan dengan logika yang masuk akal.


Kegagalan jaksa dalam menghadirkan bukti autentik, serta tekanan terhadap terdakwa yang secara hukum mestinya bebas dari beban pembuktian, merupakan bentuk penyimpangan dari prinsip dasar pembuktian negatif.


Sebagaimana dinyatakan dalam postulat Latin:


“Maxime in causis criminalibus, sciant cuncti accusatores, eam rem se deferre in publicam notionem debere, quae munita fit idoneis testibus, vel instructa apertissimis documentis vel indiciis ad probationem indubitatis & luce clarioribus expedita.”


(Terjemahan bebas: Dalam perkara pidana, setiap penuntut harus menyampaikan dakwaan secara terbuka kepada publik, disertai dengan bukti yang sah, dokumen yang terbuka, dan indikasi yang tidak menyisakan keraguan.)


Penutup


Polemik ijazah mantan Presiden Joko Widodo adalah ujian nyata terhadap integritas sistem hukum kita. 


Pemahaman yang keliru terhadap asas pembuktian—baik afirmatif maupun negatif—telah menimbulkan ketidakadilan dan memperburuk citra penegakan hukum di Indonesia.


Kita harus membedakan secara tajam antara “penutur” dan “penuduh”. 


Penutur menyampaikan dalil dengan dasar, sementara penuduh hanya menyerang tanpa bukti. Dan hukum harus berpihak pada kebenaran, bukan pada kekuasaan.


Sudah saatnya kita kembali kepada roh hukum: kejujuran, integritas, dan logika. 


Sebab tanpa itu, pengadilan hanya akan menjadi panggung sandiwara, bukan tempat mencari keadilan.


***


Sumber: FusilatNews

Komentar