Arti Lain Dari Pernyataan Jokowi: 'Ijazah Itu Memang Tidak Ada?'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
“Tidak ada kewajiban memperlihatkan ijazah saya.”
Pernyataan Joko Widodo, mantan Presiden RI, itu seolah ingin memutus polemik yang sudah bertahun-tahun bergulir.
Namun alih-alih menjernihkan persoalan, pernyataan ini justru menguatkan kecurigaan publik: apakah benar ijazah itu tidak ada?
Selama ini, publik hanya bisa menyaksikan potongan salinan ijazah yang tersebar di dunia maya. Tak pernah sekalipun ditampilkan secara langsung oleh pemiliknya.
Ironisnya, Jokowi sendiri tidak pernah mengakui keabsahan dokumen yang beredar tersebut.
Ia tak pernah berkata, “Ya, itu milik saya.” Tapi ia juga tak pernah menunjukkan yang aslinya.
Di titik inilah publik mulai berpikir keras: Kalau yang beredar bukan miliknya, dan yang asli tidak kunjung diperlihatkan, maka apa arti dari semua ini?
Apakah memang ijazah itu tidak ada sejak awal?
Kita bukan sedang mengupas soal privasi seorang warga negara biasa.
Ini soal keabsahan dokumen yang digunakan seseorang untuk mencalonkan diri sebagai pejabat publik.
Ijazah menjadi syarat penting untuk menapaki tangga politik dari Wali Kota, Gubernur, hingga Presiden.
Bila benar tak ada, maka seluruh proses pencalonannya selama ini berdiri di atas kebohongan administratif.
Dan kebohongan administratif itu, bila disengaja, adalah tindak pidana.
Bukan lagi sekadar masalah moral, tapi hukum. Apalagi, dugaan pemalsuan dokumen resmi (seperti ijazah) termasuk pelanggaran berat yang dapat dikenakan sanksi pidana, sesuai pasal 263 KUHP.
Dalam konteks ini, negara semestinya aktif menelusuri, bukan malah pasif membiarkan rakyat terombang-ambing dalam ketidakpastian.
Lebih jauh, diamnya negara dan enggannya Jokowi memperlihatkan ijazah asli memperkuat satu tafsir penting: bahwa ijazah itu tidak ada.
Atau kalau pun ada, bukan miliknya. Maka dokumen yang selama ini dijadikan dasar administrasi pencalonan patut diduga bukan milik sah.
Dan inilah yang membuat rakyat murka: saat semua lembaga—dari KPU, Kemendikbud, bahkan kampus yang diklaim sebagai almamater—memilih bungkam atau melempar jawaban basa-basi, rakyat justru digiring agar berhenti bertanya.
Padahal, pertanyaannya begitu sederhana: mana ijazahmu, Jokowi?
Demokrasi yang sehat butuh transparansi. Pemimpin yang jujur tak takut membuka masa lalunya.
Tapi hari ini, kita justru menyaksikan absurditas: seorang mantan Presiden yang lebih nyaman dilingkupi misteri daripada menjelaskan fakta.
Negara yang katanya melayani rakyat justru memilih melindungi satu orang dari pertanyaan publik yang sah.
Jika benar ijazah itu tidak ada, maka semua yang dibangun di atasnya adalah kepalsuan.
Dan jika kepalsuan itu dibiarkan, maka sejarah negeri ini ditulis dengan tinta kebohongan.
Jadi, ketika Jokowi berkata, “tidak ada kewajiban memperlihatkan ijazah,” rakyat punya hak untuk balik bertanya:
Apakah karena memang tidak ada yang bisa diperlihatkan?
***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
[INFO] Wapres Gibran Ajak Generasi Muda Berani Buat Terobosan: Harus Bisa Beradaptasi & Manfaatkan Peluang!
Wpsora: Menyediakan Solusi Digital untuk Bisnis Modern di Indonesia
Gesekkan Anu hingga Chat Mandi Bareng, Pegawai Wanita Polisikan Anggota Dewan Jakarta Barat
Kadis Perindag Sumut Dinonaktifkan Usai Cemarkan Nama Baik Bobby Nasution