Darurat Nalar – Ketika Hercules Lebih Kredibel dari UGM

- Rabu, 16 April 2025 | 11:45 WIB
Darurat Nalar – Ketika Hercules Lebih Kredibel dari UGM


Darurat Nalar – 'Ketika Hercules Lebih Kredibel dari UGM'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Negara Gagal Logika


Di republik ini, keaslian ijazah seorang presiden tak bisa dijawab oleh universitas. Bukan oleh kementerian pendidikan, apalagi Mahkamah Konstitusi. 


Justru dijawab oleh seorang bernama Hercules Rosario de Marshal—mantan narapidana, tokoh jalanan, dan Ketua Umum organisasi GRIB Jaya.


Pada 15 April 2025, Hercules mengunjungi kediaman pribadi Joko Widodo di Solo. Katanya, sekadar silaturahmi. 


Tapi silaturahmi itu mendadak berubah fungsi: menjadi forum klarifikasi ijazah. Usai pertemuan tertutup 45 menit itu, Hercules keluar dan bicara kepada media, “Ijazah Jokowi asli.”


Tamatlah Logika


Ketika fakta akademik dijawab oleh tokoh preman, bukan oleh institusi akademik, kita tahu: republik ini sedang dalam kondisi darurat nalar.


Preman Sebagai Rektor Bayangan


Apakah publik gembira? Entah. Tapi sebagian media besar tampaknya percaya. 


Kalimat Hercules dikutip seolah ia juru bicara UGM. Wartawan tak bertanya lebih jauh. 


Tak ada dokumen. Tak ada fotokopi ijazah. Tak ada surat keterangan. Hanya omongan dari seorang teman lama.


Dan di sinilah letak parodinya. Negara ini tak lagi butuh lembaga pendidikan tinggi, selama ada loyalis jalanan yang siap menyatakan kebenaran versi kekuasaan. 


Ijazah tak perlu dibuktikan—cukup dideklarasikan oleh orang yang tepat dalam momentum yang hangat: lebaran, silaturahmi, dan nostalgia kekuasaan.


Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) yang selama ini bersuara soal dugaan ijazah palsu, kini dituntut “sowan” ke rumah Jokowi. 


Tapi untuk apa? Kebenaran bukan tinggal di ruang tamu. Ia lahir dari transparansi, bukan dari kopi pahit dan obrolan santai antar sahabat lama.


UGM: Universitas Gagap Menjawab


Lalu di mana UGM? Sebagai universitas tempat Jokowi konon menyelesaikan studi, mereka seharusnya bisa menjawab dengan mudah. 


Tinggal keluarkan data, tampilkan arsip, tunjukkan ijazah. Tapi tidak. Hingga hari ini, UGM memilih diam. 


Bungkam. Tidak membantah, tapi juga tak mengonfirmasi. Mereka seolah hanya berharap isu ini hilang ditelan waktu atau dikaburkan oleh narasi silaturahmi dan gimik kekuasaan.


Apakah UGM takut? Disandera? Atau telah menjadi institusi yang lebih takut pada opini politik daripada pada runtuhnya kredibilitas akademik? 


Sebuah kampus yang tak bisa menjawab soal data alumninya sendiri, seharusnya malu menyebut diri sebagai benteng ilmu pengetahuan.


Republik Tanpa Nalar


Kini, kita hidup dalam negara yang mengklaim demokrasi, tapi tak mampu menghadirkan satu bukti dokumen sederhana. 


Kita hidup dalam republik yang menolak debat akademik, namun menyambut pernyataan dari mereka yang pernah menguasai terminal dan jalanan.


Maka tidak heran jika hari ini, keaslian ijazah presiden tidak ditentukan oleh profesor, tapi oleh “abang-abangan” yang punya akses ke ruang dalam kekuasaan.


Inilah bentuk republik yang telah kehilangan akal sehat: ketika lembaga pendidikan memilih bungkam, dan rakyat disuruh percaya kepada juru bicara informal tanpa legalitas. 


Kita sedang mengelola negara seperti geng motor: loyalitas lebih penting dari legalitas, kedekatan mengalahkan kebenaran.


Dan ketika kita menerima itu semua dengan tenang, maka sebetulnya, bukan cuma ijazah yang palsu. Tapi juga kesadaran kolektif bangsa ini.


***


Sumber: FusilatNews

Komentar