Jokowi Tak Layak Dapat Rumah Negara: Presiden Abnormal Tak Pantas Diistimewakan!

- Selasa, 15 April 2025 | 12:50 WIB
Jokowi Tak Layak Dapat Rumah Negara: Presiden Abnormal Tak Pantas Diistimewakan!


Jokowi Tak Layak Dapat Rumah Negara: Presiden Abnormal Tak Pantas Diistimewakan!


Oleh: Damai Hari Lubis

Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)


Pemberian hadiah berupa tanah dan rumah kepada Presiden Joko Widodo sebagai mantan presiden oleh negara merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 52 Tahun 2014. 


Aturan tersebut dengan tegas menyatakan bahwa fasilitas tersebut hanya diberikan kepada mantan presiden dan/atau wakil presiden yang berhenti dengan hormat.


Berdasarkan implementasi Perpres tersebut, Jokowi dikabarkan telah mendapatkan sebidang tanah seluas 9.000 meter persegi. 


Namun belakangan, tanpa kejelasan dasar pertimbangan, luas tanah tersebut berubah menjadi 12.000 meter persegi atau setara 1,2 hektare. 


Lahan tersebut terletak di tepi Jalan Adi Sucipto, Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah, dan kini sudah dibersihkan serta dipagari. 


Proyek ini ditujukan sebagai rumah pensiun untuk Jokowi, yang menurut pernyataan Kementerian Keuangan akan dibangun sesuai ketentuan dalam Permenkeu No. 120/PMK.06/2022.


Yang menjadi catatan penting, lokasi tersebut dipilih atas permintaan langsung dari Jokowi. 


Ia juga berharap rumah itu nantinya menjadi hak milik yang dapat diwariskan kepada anak-anaknya, termasuk Gibran Rakabuming Raka — yang terseret dugaan kasus akun Fufu Fafa, serta Kaesang Pangarep dan Kahiyang Ayu, yang semuanya sempat dilaporkan ke KPK terkait dugaan gratifikasi dan korupsi semasa Jokowi masih menjabat. Namun, hingga kini tak jelas kelanjutan proses hukum laporan-laporan tersebut.


Kontroversi Ijazah Jokowi: Pertanyaan Fundamental tentang Jati Diri


Sementara itu, polemik keabsahan ijazah Jokowi terus mengemuka. Tak hanya ijazah S-1 dari Fakultas Kehutanan UGM yang menjadi sorotan, tetapi juga ijazah SD, SMP, dan SMA-nya. 


Dalam persidangan kasus Bambang Tri Mulyono (penulis Jokowi Undercover) di Pengadilan Negeri Surakarta, para saksi yang dihadirkan—termasuk guru dan kepala sekolah dari sekolah-sekolah yang pernah diklaim pernah diikuti Jokowi—mengaku tidak pernah melihat ijazah asli Jokowi.


Hal ini menimbulkan kejanggalan. Bagaimana mungkin pihak sekolah bisa melegalisasi salinan ijazah tanpa pernah melihat dokumen aslinya?


Keanehan ini diperparah dengan kabar bahwa pihak UGM sendiri tidak pernah melihat ijazah asli Jokowi ketika mereka melegalisir dokumen tersebut. Bahkan, disebut-sebut ijazah itu hilang.


Pertanyaan besar pun muncul: benarkah Jokowi pernah kuliah dan menjalani kegiatan akademik di UGM dari tahun 1980 hingga 1985, sebagaimana klaimnya? 


Mengapa tidak ada arsip atau catatan yang membuktikan secara sah bahwa ia benar-benar menjalani kuliah, KKN, serta lulus secara legal?


Temuan Ilmiah: Foto di Ijazah Diduga Milik Orang Lain


Dalam perkembangan terbaru, analisa forensik digital dari dua ahli IT ternama, yakni Dr. Roy Suryo dan Dr. Eng. Risman Hasiholan Sianipar—keduanya alumni UGM—menunjukkan bahwa foto yang tertera dalam ijazah S-1 Jokowi diduga kuat bukan milik Jokowi, melainkan seseorang bernama Dumatno.


Menurut informasi, Dumatno adalah alumnus UGM dan kini menjabat sebagai komisaris di salah satu perusahaan milik Luhut Binsar Pandjaitan (LBP). Bahkan, Dumatno disebut masih hidup sampai saat ini.


Temuan tersebut telah dilaporkan ke Mabes Polri oleh Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), lengkap dengan data empirik dan bukti ilmiah. Sebelumnya, gugatan perdata dengan substansi serupa juga telah diajukan TPUA di PN Jakarta Pusat.


Figur Tak Layak Dapat Privilege Negara


Dengan segala kontroversi tersebut—mulai dari kejanggalan akademik, perilaku tidak konsisten, hingga kecenderungan memanipulasi fakta publik—sosok Jokowi menimbulkan pertanyaan serius dari publik: Siapa sebenarnya Jokowi?


Selama satu dekade kepemimpinannya, rakyat menyaksikan berbagai bentuk inkonsistensi dan kebohongan publik, mulai dari soal mobil ESEMKA, janji menyelesaikan banjir Jakarta, hingga pernyataan akan menyelesaikan masa jabatan Gubernur DKI, yang semuanya terbukti tidak ditepati.


Maka, sangat wajar jika publik menilai bahwa karakter Jokowi mencerminkan “multi keburukan dalam semua dimensi waktu,” baik saat menjabat maupun setelah purna tugas. 


Sebagai pribadi yang dituduh tak memiliki kelengkapan legal atas latar belakang akademiknya, serta terindikasi kerap menutup kebohongan dengan kebohongan lain, Jokowi tidak memenuhi syarat moral dan etis untuk menerima fasilitas negara sebagai mantan presiden yang “terhormat.”


Rekomendasi untuk Presiden Prabowo


Melihat berbagai fakta, indikasi, dan bukti ilmiah yang telah dipaparkan, maka Presiden Prabowo Subianto tidak keliru bahkan patut untuk menunda pemberian tanah dan pembangunan rumah bagi Jokowi.


Penundaan ini adalah bentuk kehati-hatian sekaligus wujud komitmen terhadap prinsip moralitas dan supremasi hukum. 


Jika pada akhirnya terbukti di pengadilan bahwa Jokowi melakukan pelanggaran berat atas dasar pemalsuan identitas dan dokumen, maka negara bahkan berhak mencabut hak-haknya, termasuk hak politik.


Sebaliknya, jika pemberian fasilitas tetap dipaksakan, Presiden Prabowo bisa terseret dalam pusaran kontroversi dan membebani kredibilitas pemerintahannya sejak awal. 


Ini jelas mengganggu stabilitas politik dan mencederai kepercayaan publik.


***

Komentar