Politikus PDIP: Ijazah Jokowi Hilang atau Memang Tak Pernah Ada?

- Senin, 14 April 2025 | 18:25 WIB
Politikus PDIP: Ijazah Jokowi Hilang atau Memang Tak Pernah Ada?


Kontroversi soal keabsahan ijazah mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menyeruak ke ruang publik. Kali ini, pernyataan mengejutkan datang dari Beathor Suryadi, politikus senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dikenal dekat dengan almarhum Taufik Kiemas. Ia menegaskan bahwa hilangnya ijazah bukanlah masalah besar dalam sistem akademik. Yang menjadi persoalan, menurutnya, justru adalah jika ijazah itu tidak pernah ada sama sekali.

“Ijazah hilang itu biasa saja. Yang penting ada record-nya. Ada transkrip nilai, catatan sidang skripsi, hard copy skripsi. Semua itu disimpan di Tata Usaha fakultas,” ujar Beathor yang dikutip dari www.suaranasional.com, Senin (14/4/2025). “Tapi bagaimana melacak sesuatu yang tidak pernah ada? Itulah masalahnya.”

Dalam sistem demokrasi, transparansi dan akuntabilitas adalah fondasi utama yang menopang kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya. Ketika Presiden mengklaim gelar akademik, maka klaim itu secara moral dan etis harus dapat diverifikasi. “Unsur kebohongan dan penipuan terhadap masyarakat bisa dimulai dari status sosial yang dimanipulasi—mengaku sebagai sarjana dari UGM, padahal belum tentu benar,” tambah Beathor.

Pernyataan tersebut menggugah kembali memori publik terhadap polemik hukum yang pernah mencuat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun 2022. Saat itu, gugatan terhadap keabsahan ijazah Jokowi ditolak oleh pengadilan, namun penolakan tersebut tidak menjawab secara substansial tentang bukti fisik dan dokumen akademik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang bisa membuktikan bahwa Jokowi benar-benar menempuh dan menyelesaikan pendidikan tinggi di sana.

Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, calon kepala daerah maupun presiden hanya diwajibkan memiliki ijazah SMA atau sederajat. Maka timbul pertanyaan: jika gelar sarjana teknik dari UGM bukan persyaratan, mengapa tetap digunakan?

“Ini bukan soal syarat administratif. Ini soal pencitraan, soal bagaimana seorang tokoh membentuk persepsi intelektualitas di hadapan rakyat,” ujar Beathor lagi. “Kenapa memaksakan memakai gelar insinyur jika itu justru bisa menjadi sumber krisis kepercayaan publik?”

Menurutnya, penggunaan gelar akademik bukan sekadar urusan administratif, tetapi juga merupakan pengakuan moral kepada publik. Dalam sistem demokrasi, ketika seorang pemimpin memilih untuk menampilkan diri sebagai lulusan universitas ternama, maka ia harus siap mempertanggungjawabkan klaim itu.

Di era digital, pelacakan dokumen akademik seharusnya bukan lagi hal yang sulit. Bahkan jika ijazah fisik hilang, teknologi modern memungkinkan rekonstruksi data secara menyeluruh dari sistem akademik internal.

“Masalah ini bisa selesai dalam 10 menit kalau memang semua dokumen itu ada. Tapi faktanya, publik tidak pernah benar-benar diperlihatkan bukti otentik,” kata Beathor.

Pernyataan Beathor Suryadi membuka babak baru dalam diskusi publik mengenai pentingnya integritas dan kejujuran dalam kepemimpinan nasional. Menurutnya, isu ini tidak boleh dianggap sepele karena menyangkut karakter dasar seorang pemimpin.

“Salam juang untuk kebenaran,” tutup Beathor.

Foto: Ilustrasi Ijazah Jokowi (IST)

Komentar