Selain ke PT AA Mantan Kepala Kanwil BPN Riau Juga Minta Uang ke Perusahaan Lain Soal Izin HGU

- Rabu, 17 Mei 2023 | 05:01 WIB
Selain ke PT AA Mantan Kepala Kanwil BPN Riau Juga Minta Uang ke Perusahaan Lain Soal Izin HGU

TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Sidang lanjutan kasus suap pengurusan perpanjangan izin Hak Guna Usaha (HGU) kebun sawit dengan terdakwa mantan Kepala Kanwil BPN Riau, Muhammad Syahrir, kembali digelar, Selasa (16/5/2023).

Sidang bertempat di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Pekanbaru.

Agenda sidang kali ini, yakni mendengarkan keterangan saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam sidang terungkap, ternyata Muhammad Syahrir tidak hanya meminta uang kepada PT Adimulia Agrolestari.

Namun ada perusahaan lain yang juga dimintai uang untuk pengurusan perpanjangan izin HGU.

Perusahaan itu yakni PT Eka Dura Indonesia. Pihak perusahaan dimintai uang terkait perpanjangan izin HGU lahan perkebunan sawit di Kabupaten Rokan Hulu (Rohul).

Baca juga: Bos PT Adimulia Agrolestari Penyuap Eks Bupati Kuansing dan Kepala Kanwil BPN Riau Divonis Segini

Baca juga: Bos PT AA Didakwa Lakukan Suap Terhadap Kepala Kanwil BPN Riau dan Bupati Kuansing untuk Urus HGU

Legal PT Eka Dura Indonesia, Ahmad Fahmy Halim, di hadapan majelis hakim yang diketuai Dr Solomo Ginting menyebut, dirinya menyerahkan uang Rp1 miliar kepada Syahrir untuk pengurusan perpanjangan izin HGU lahan perkebunan sawit PT Eka Dura Indonesia.

Menurut Fahmy, awalnya Syahrir meminta uang sebesar Rp5 miliar kepada PT Eka Dura Indonesia. Namun, permintaan tersebut tidak dikabulkan oleh pimpinan perusahaan di Jakarta.

"Perusahaan tidak menyanggupi," kata Fahmy.

Akhirnya pihak perusahaan melakukan negosiasi dengan Syahrir agar jumlah tersebut bisa dikurangi. Ketika itu Syahrir menurunkan permintaannya menjadi Rp3,5 miliar, hingga Rp2,5 miliar.

"Perusahaan (ternyata) hanya bisa memberi Rp1 miliar," kata Fahmy.

Menurut Fahmy, uang itu dibawa dari Jakarta ke Pekanbaru untuk diserahkan kepada Syahrir. Uang itu disimpan dalam tas koper merk Presiden warna abu-abu.

Sebelum diserahkan, Fahmy terlebih dahulu menemui Syahrir di ruang kerjanya di Kantor Kanwil BPN Riau. Uang yang dibawa Fahmy tetap ditinggal di dalam mobil.

Kepada Syahrir, disebutkan kalau perusahaan hanya sanggup menyediakan uang Rp1 miliar. Mendengar itu, kata Fahmy, terlihat kekecewaan di wajah Syahrir.

"Ya, sudahlah kalau begitu," kata Fahmy menirukan ucapan Syahrir saat itu.

Syahrir lalu meminta Fahmy mengantarkan uang itu ke rumah dinasnya di Jalan Kartini, sekitar pukul 13.00 WIB.

Syahrir meminta uang itu diberikan kepada Mila, pegawai BPN Riau yang juga keponakan Syahrir yang tinggal di rumah dinasnya.

Selanjutnya, Fahmy datang ke rumah dinas Syahrir dan bertemu Mila. Koper berisi uang Rp1 miliar itu, diserahkan Fahmy kepada Mila di teras rumah dinas.

"Setelah itu saya pulang," aku Fahmy.

Pada persudangan itu, JPU juga menghadirkan Mila. Hakim langsung mengkonfrontir keterangan Fahny tersebut kepada Mila. "Benar, saksi ada menerima (koper berisi uang) itu?"" cecar hakim.

Mila tidak menampik telah menerima koper dari Fahmy.

"Betul Pak. Saya yang menerima koper itu," kata Mila.

Mila menjelaskan, Syahrir menginstruksikannya jika Fahmy meminta foto atau tanda terima supaya ditolak.

"Kalau dia minta foto dan tanda tangan jangan mau," ujar Mila menirukan perkataan Syahrir.

Usai menerima koper itu, Mila, kemudian menyimpannya ke dalam kamar.

Setelah itu, Mila pun kembali ke kantor untuk bekerja. Koper itu diserahkan kepada Syahrir pada sore harinya.

"Wak, ini titipan orang tadi," ucap Mila kepada Syahrir.

Saat itu, ungkap Mila, Syahrir hanya menjawab singkat dan langsung mengambil koper tersebut.

"Ya, terima kasih," jawab Syahrir.

Terkait keterangan Fahmy dan Mila itu, Syahrir tidak sepenuhnya membenarkan.

Dia mengakui menyuruh Mila untuk mengambil koper itu tapi menurut Syahrir koper itu bukan berisi uang melainkan pakaian saudaranya.

"Koper itu milik saudara saya bernama Rusdi, yang mau ke Pelalawan. Kopernya tertinggal," terang Syahrir.

Mendengar itu, Fahmy dan Mila menyatakan tetap pada keterangan yang disampaikannya di persidangan. "Tetap pada keterangan," kata Fahmy.

Selain Fahmy dan Mila, di persidangan ini, JPU juga menghadirkan empat orang saksi lainnya untuk memberikan keterangan.

JPU dalam dakwaannya menyebut Syahrir diduga menerima gratifikasi dari perusahaan-perusahaan maupun pejabat yang menjadi bawahannya.

Tidak hanya itu, KPK menjerat Syahrir dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU) karena uang itu dialihkannya dengan membeli sejumlah aset.

Tidak tanggung-tanggung, selama menjabat menjabat Kakanwil BPN Provinsi Maluku Utara dan Riau sejak Tahun 2017-2022, Syahrir telah menerima uang gratifikasi, yang keseluruhannya berjumlah Rp20.974.425.400.

Rincian gratifikasi yang diterima Syahrir, sebesar Rp5.785.680.400, saat menjabat sebagai Kakanwil BPN Provinsi Maluku Utara dan Rp15.188.745.000 saat menjabat sebagai Kepala Kanwil BPN Provinsi Riau.

Di Provinsi Riau, M Syahrir menerima uang untuk pengurusan hal atas tamah di Kanwil BPN Riau dari perusahaan seperti PT Permata Hijau, PT Adimulia Agrolestari, PT Ekadura Indonesia, PT Safari Riau, PTPN V, PT Surya Palma Sejahtera, PT Sekar Bumi Alam Lestari, PT Sumber Jaya Indahnusa Coy, PT Meridan Sejati Surya Plantation.

M Syahrir juga menerima uang dari ASN di lingkungan Kanwil BPN Provinsi Riau, untuk pengurusan izin HGU perusahaan, pengurusan tanah dan pihak lainnya yang memiliki hubungan kerja dengan Kanwil BPN Provinsi Riau.

Di antaranya, dari Risna Virgianto yang menjabat sebagai Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kuantan Singingi tahun 2019 sampai tahun 2021 sebesar Rp15 juta.

Kemudian dari Satimin terkait pengurusan tanah terlantar/permohonan HGU PT Peputra Supra Jaya pada tahun 2020 sebesar Rp20 juta. Jusman Bahudin terkait pengurusan pendaftaran HGU PT Sekarbumi Alam Lestari sebesar Rp80 juta.

Lalu dari Ahmad Fahmy Halim terkait pengurusan perpanjangan HGU PT Eka Dura Indonesia sebesar Rp1 miliar. Siska Indriyani selaku Notaris/PPAT di Kabupaten Kampar sebesar Rp30 juta.

Dari Indra Gunawan terkait pengurusan HGU PT Safari Riau/PT ADEI Plantation & Industry sebesar Rp10 juta. Suhartono terkait pengurusan perpanjangan HGU First Resource Group (antara lain PT Riau Agung Karya Abadi, PT Perdana Inti Sawit Perkasa, PT Surya Intisari Raya, PT Meridan Sejati Surya Plantation) sebesar Rp15 juta dan menerima uang terkait jabatannya Rp15.188.745.000.

Uang miliaran itu kemudian dialihkannya ke rekening lain dan digunakan untuk membeli sejumlah aset. Diantaranya, sejumlah bidang tanah, rumah toko (Ruko), kendaraan dan lainnya.

JPU menjerat M Syahrir dengan Pasal 12 huruf a dan huruf b jo. Pasal 18 UU RI No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Pasal 3 UU Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. (Tribunpekanbaru.com/Rizky Armanda)

Sumber: pekanbaru.tribunnews.com

Komentar