Jokowi Ngaku Akan Laporkan Penuduh Ijazah Palsu, Dengan Barang Bukti Apa?

- Kamis, 17 April 2025 | 14:00 WIB
Jokowi Ngaku Akan Laporkan Penuduh Ijazah Palsu, Dengan Barang Bukti Apa?


Jokowi Ngaku Akan Laporkan Penuduh Ijazah Palsu, Dengan Barang Bukti Apa?


Oleh: Damai Hari Lubis

Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)


Sebagai anggota Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) di bawah kepemimpinan Eggi Sudjana — tokoh legendaris aktivis Muslim yang kredibilitasnya sebagai fakta umum (notoire feiten) tidak dapat disangkal — kami sejak lama memburu kebenaran terkait dugaan kebohongan identitas akademik Presiden Joko Widodo, terutama mengenai keaslian ijazah S1-nya dari Fakultas Kehutanan UGM.


Upaya ini dilakukan melalui jalur litigasi maupun non-litigasi, termasuk penyampaian pertanyaan dan diskusi terbuka di ruang publik melalui berbagai media, termasuk platform digital seperti YouTube. 


Tentu saja, dengan risiko hukum yang melekat, TPUA bukanlah kelompok yang “sok tahu” atau tiba-tiba berubah menjadi “pahlawan kesiangan.” 


Namun, sebagai bagian dari masyarakat sipil, kami merasa berhak mempertanyakan secara serius: Apakah Jokowi sungguh-sungguh akan melaporkan para penuduh ijazah palsu tersebut?


Pasalnya, sejumlah pakar forensik digital dan ahli IT telah dengan lantang menyatakan bahwa mereka yakin ijazah S1 Jokowi adalah palsu, bahkan ada yang menyebut, “Seribu triliun pun saya pertaruhkan, ijazah itu palsu!”


Asas Pidana: Yang Merasa Difitnah Harus Melapor

Dalam sistem hukum pidana kita, delik fitnah merupakan delik aduan. Artinya, orang yang merasa difitnah harus melapor langsung dan menjalani pemeriksaan sesuai prosedur yang diatur KUHAP. Tanpa laporan dari yang bersangkutan, proses hukum tidak bisa berjalan.


Sejauh ini, publik mengetahui bahwa Jokowi pernah mencoba membantah tuduhan itu dengan menunjukkan foto ijazahnya kepada beberapa awak media. 


Anehnya, proses tersebut berlangsung tertutup. Konon, wartawan dilarang mengambil gambar, membawa kamera, atau menerima salinan foto tersebut.


Hal ini tentu kontradiktif. Apalagi ketika pada Rabu, 16 April 2025, tiga orang anggota TPUA menemui Jokowi untuk bersilaturahmi dan menyampaikan permintaan atas nama Ketua TPUA, Prof. Dr. H. Eggi Sudjana, SH., M.Si. 


Namun, Jokowi menolak memperlihatkan ijazah asli miliknya, kecuali diperintahkan hakim di pengadilan.


Pembuktian Ijazah: Butuh Kebenaran Formil dan Materil

Dalam hukum pidana, pembuktian harus berdasarkan kebenaran materiil. Artinya, penyidik dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) wajib mendapatkan bukti yang benar-benar mencerminkan kenyataan, bukan sekadar formalitas.


Dalam konteks ijazah, yang merupakan dokumen fisik berupa kertas, tinta, dan foto, maka uji forensik sangat krusial. 


Dibutuhkan uji karbon, uji tinta, serta keaslian tandatangan dan stempel institusi. UGM sebagai institusi pemberi ijazah juga harus memberikan konfirmasi resmi secara terbuka.


Lebih jauh, proses akademik yang melahirkan ijazah pun harus bisa diverifikasi: apakah Jokowi benar menjalani kuliah selama lima tahun, menyelesaikan tugas akhir, mengikuti sidang skripsi, dan mendapat nilai sesuai regulasi akademik?


Tidak Cukup dengan Klaim Sepihak

Dalam perspektif hukum, Jokowi tidak bisa hanya mengatakan, “Yang menuduh, harus membuktikan.” 


Sebagai pihak yang merasa difitnah, jika ia serius dan yakin ijazahnya asli, justru Jokowi-lah yang harus membawa bukti kuat ke hadapan publik dan/atau pengadilan.


Apalagi dampak dari isu ini tidak main-main. Jika tuduhan itu terbukti benar, maka akan menjadi cacat yuridis terhadap keabsahan semua tindakan, keputusan, dan kebijakan negara selama dua periode kepemimpinan Jokowi. 


Ini menyangkut implikasi konstitusional, legal, moral, dan historis atas seluruh produk hukum — dari Keppres, Perpres, Inpres, Perpu, hingga RUU — yang diproduksi selama masa pemerintahannya.


Pelanggaran Asas Transparansi

Sikap Jokowi yang enggan membuka kebenaran secara tuntas juga memperkuat asumsi publik mengenai pelanggaran asas transparansi dan good governance. 


Sebagai kepala negara, ia seharusnya menjadi teladan, bukan justru menghindar dari pembuktian yang sahih.


Sayangnya, ketertutupan ini hanya memperkuat stigma publik bahwa Jokowi lebih layak disebut sebagai “King of Lip Service”, sebagaimana pernah dilabeli oleh sejumlah lembaga survei mahasiswa. 


Selain itu, praktik nepotisme dan dugaan obstruction of justice selama masa jabatannya semakin menegaskan pola kekuasaan yang tidak patuh pada hukum positif.


Penutup: Tanggung Jawab Moral dan Hukum

Apapun hasilnya kelak jika perkara ini benar masuk ke ranah hukum, sebagai presiden (aktif maupun pasca-jabatan), Jokowi tidak dapat melepaskan tanggung jawab moral dan hukum atas semua konsekuensi, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.


Ini bukan hanya soal kehormatan pribadi dan keluarga, tetapi tentang integritas sejarah dan keabsahan sistem kenegaraan. 


Publik berhak tahu — dan Jokowi wajib membuktikan — bahwa seluruh kebijakan yang ia hasilkan lahir dari legitimasi yang sah, bukan dari sebuah ijazah palsu.



***

Komentar